SIT Asy Syifa Qolbu

Pendidikan Karakter Berbasis Sunah

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”

(QS : Lukman : 12 – 14)

Pergerakan, perubahan, perkembangan dan kemajuan seseorang ditentukan oleh dua hal; pertama, lahir dari kesadaran diri yang tumbuh dari sebuah keyakinan yang kuat nancap disanubari berupa nilai – nilai yang dianggap paling benar yang telah diseleksi dan dipelajari secara ketat melalui fakultas akal. Keyakinan pada nilai inilah yang membuat seseorang bergerak, berubah, berkembang, dan maju menjadi manusia luar biasa.

Kedua, jika kesadaran itu tidak tumbuh atau belum tumbuh, maka, kadang seseorang harus dipaksa, kemudian merasa terpaksa, terus menjadi terbiasa, pada akhirnya bisa untuk bergerak, berubah, berkembang maju menjadi manusia luar biasa.

Dari asumsi diatas, dalam konteks pendidikan karakter, pendidikan memiliki dua pendekatan dalam menumbuhkan karakter, pertama, melalui penanaman nilai nilai kebenaran dan kebaikan dan itu masuk kewilayah agama. Yang diharapkan nilai nilai agama lah yang akan mengendalikan pergerakan, perubahan, perkembangan menjadi manusia luar biasa. Kedua, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya karakter unggul, dan yang ketiga, adalah keteladanan dari para pendidik.

Dalam sejarah, kita akan menemukan sesuatu yang tetap/permanen, bersifat mutlak dan ia dianggap sakral. Apakah itu? adalah nilai-nilai kehidupan yang bersifat universal dan konprehensif. Mengalir pertama kali dari hulu/awal kehidupan manusia. Yang bertanggung jawab atau mengambil peran sejarah menjaga agar aliran tersebut terus mengalir dan sampai kepada kita adalah para Nabi dan untuk selanjutnya peran sejarah ini dititipkan kepada orang-orang alim (baca: yang berilmu), maka mengambil/memilih peran dan fungsi sebagai guru harus siap dan berani mengambil alih peran para Nabi untuk menjaga kemurnian nilai dan kelancaran mengalirkannya kembali. Karena nilai itu bersifat tetap, maka ia tidak akan pernah lekang oleh waktu, apalagi hilang ditelan zaman. Karena sifatnya yang tetap, ia tidak akan tersentuh oleh perubahan zaman dan keadaan apapun, ajeg dan kukuh dan dapat mendefinisikan situasi dan kondisi zaman. Jadi, tugas perjuangan para guru adalah, bagaimana nilai-nilai tersebut menebar menjadi benih-benih amal kebaikan dan mampu menjawab dinamika dan problematika zaman. Inilah tanggung jawab sejarah yang harus dan berani dipikul oleh guru-guru Indonesia.

Peran guru cukup signifikan dalam membangun dan menguatkan karakter sebuah masyarakat. Guru adalah pewaris nilai-nilai luhur yang pernah diemban oleh para Nabi. Pewaris nilai luhur berarti guru adalah orang-orang yang dititipkan nilai – nilai tersebut yang suatu saat akan diminta dan dipertanyakan kembali titipannya oleh yang memberinya.

Nilai adalah suatu harapan atau cita-cita yang seharusnya dimiliki manusia. Nilai akan membentuk identitas baik secara individu maupun secara sosial. Nilai dapat menggerakan individu dan sosial untuk bertindak dan nilai akan mengarahkan tindakan-tindakan mana yang dianggap benar, baik dan indah. Dari pengertian ini, maka nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, berkualitas dan berguna.

Pewaris adalah pemilik sah atas harta pusaka. Guru sebagai pewaris nilai, berarti guru adalah pemilik nilai tersebut. Karena ia sebagai pemilik, maka nilai tersebut bukan hanya ada disetiap lapisan pemikiran, mengendap dalam hati, terartikulasi lewat kata-kata saja. Tapi nilai tersebut mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilakunya, hingga ia digerakan hidupnya oleh nilai-nilai tersebut. Dengan demikain nilai-nilai tersebut telah membentuk sebuah pandangan hidup, pendirian dan sikapnya. Pada tahap ini nilai-nilai tersebut sudah melakat dalam dirinya. Maka ia pemilik sah atas warisan/pusaka nilai yang diwariskan para Nabi. Persoalannya, ketika guru berteori tentang nilai dan berkata-kata secara retoris tentang nilai, tapi apa yang dia pahami dan katakan belum menjelma dalam pandangan hidup, sikap dan pendiriannya, maka ia tidak berhak / bukan pewaris / bukan pemilik nilai-nilai tersebut. Mana mungkin guru yang tidak memiliki nilai bisa menyampaikan / memberikan nilai-nilai tersebut. Mengajarkan nilai pada peserta didik, seperti orang yang hendak menularkan sebuah virus (penyakit) maka orang tersebut harus terjangkit virus terlebih dahulu, baru ia bisa menularkan virus tersebut. Nilai itu harus seperti virus yang melakat kuat pada setiap guru, maka guru yang terlekat virus tersebut akan mudah menularkannya kepada peserta didik.

Dari sudut pandang idealis ini, menempatkan guru adalah seperti orang mulia yang bertugas menyelamatkan hidup dan kehidupan manusia, meraka adalah menyangga moral setiap peradaban. Meraka yang akan mengisi lubang yang kosong dalam setiap peradaban dengan nilai-nilai moral yang dimilikinya. Jika sebuah peradaban menyisakan atau meninggalkan lubang kosong ditengahnya yaitu berupa nilai-nilai, maka bersiaplah peradaban tersebut terperosok pada rawa-rawa sejarah. Nabi suci menyatakan “tinta para guru akan ditimbang dengan darah para Syuhada”

Ada sebuah pepatah yang inspiratif: “1000 perkataan susah untuk ditiru, dibandingkan dengan 1 perbuatan”, “keteladanan lebih menentukan daripada kata kata dalam merubah sikap dan perilaku anak anak”. Guru yang profesinya mengandalkan kata kata, dengan kata kata tersebut kita selaku guru sering menganjurkan, menyuruh, memerintah, dan bahkan melarang, namun kadang apa yang kita katakan tidak kita kerjakan atau kita tinggalkan, persoalannya adalah, jika kita sering mengatakan sesuatu, tapi tidak / belum kita kerjakan, maka Allah SWT akan membenci kita, sebagaimana dalam firmannya Quran Surah Ash – shaf ayat : 2 – 3 “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”

Perbuatan atau keteladanan hal yang paling epektif dalam menyampaikan dan menjelaskan pelajaran, perbuatan dan keteladanan adalah upaya guru untuk membiasakan kebenaran dan kebaikan, bukan membenarkan kebiasaan. Ada sebuah ungkapan “didiklah anak anak sesuai dengan zamannya” dalam Islam ungkapan ini, bukan berarti menanggalkan dan meninggalkan Quran yang nilainya mutlak dan permanen, tapi yang harus sesuai dengan zamannya, pernyataan ini berbicara tentang metode.

Dalam Islam, bahwa pendidikan harus dilihat dan diletakan dari 4 sudut pandang :

  1. Allah Sebagai Maha Guru

“Dan di sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghoib, tidak ada yang mengetahuinya selain Dialah Allah sendiri, dan Dia mengetahui apapun yang ada di daratan dan Dia mengetahui apapun yang ada di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dialah Allah mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak ada satu pun yang basah dan tak ada satu pun yang kering melainkan semua tertulis di lauh mahfudz, kitab yang nyata. “ (QS Al- An’am: 59)

”Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (al-Baqarah : 31-32)

  1. Nabi SAW Sebagai Pakar Pendidikan

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh” (al-Ahzâb :21)

  1. Quran Sebagai Kurikulum

“Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. al-An’am : 155)

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (Q.S. al-A’raf : 3)

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,” (Q.S. az-Zumar : 55)

  1. Sunah Sebagai Metode

“Katakanlah (wahai Rasulullah): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (ikutilah tuntunan dan petunjukku), niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ‘Imran: 31).Dengan Allah SWT, Al-quran ditangan, mengikuti Nabi SAW, dan menjadikan Sunah sebagai sebuah metode, sudah terbukti dalam sejarah, Islam sebagai sebuah peradaban pernah dan berkuasa atas sepertiga dunia. Jika kita ingin mengembalikan kejayaan Islam melalui pendidikan, maka mengembalikan pendidikan pada Allah SWT, Quran, Nabi, dan Sunah menjadi penting dan mendesak.

Untuk menjadi guru hebat yang luar biasa sesuai dengan tuntutan Islam, belum terlambat asal mau untuk bergerak dan berubah dengan belajar, belajar, dan belajar sampai akhir hayat agar selamat dunia dan akhirat.

Share

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Artikel Lainnya

×



Assalamualaikum 👋

Ada yang bisa kami bantu?


× Hubungi Kami